Mengenang 30 Tahun Kepergian Soe Hok Gie




Tiga puluh tahun meninggalnya Soe Hok Gie akan diperingati dalam acara
diskusi sehari, Sabtu 27 November di Kampus Universitas Indonesia Depok.
Acara mengenang tokoh cendekiawan, budayawan dan demonstran itu
diselenggarakan oleh sahabat-sahabatnya, alumni Fakultas Sastra dan alumni
Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) UI.

Soe Hok Gie meninggal dunia 16 Desember 1969 sehari menjelang ulang tahunnya
ke 27 karena kecelakaan di puncak Gunung Semeru, Jawa Timur. Dalam hidupnya
yang singkat itu almarhum dikenal sebagai seorang aktivis mahasiswa yang
berani dan gigih. Yang mengobarkan pemikiran dan sikapnya melalui tulisan,
dalam mimbar diskusi, rapat senat mahasiswa sampai pada berdiri di barisan
paling depan demonstrasi menentang pemerintahan Soekarno.

Lawan-lawan bicaranya mulai dari tokoh-tokoh besar seperti Presiden Soekarno
(ia datang ke Istana dengan jas pinjaman), Soedjatmoko, Mochtar Lubis,
sampai pada teman-temannya seangkatan seperti Akbar Tandjung.
Tulisan-tulisannya yang menyangkut permasalahan kemanusiaan, hak-hak asasi
manusia, kebangsaan, moral, keadilan hukum dan dunia mahasiswa tersebar di
berbagai media, terutama Indonesia Raya, Sinar Harapan, Kompas, Mahasiswa
Indonesia (edisi Jawa Barat). Tulisannya bermunculan demikian produktif di
antara tahun 1966 sampai 1969.

Dalam booklet yang disusun oleh Sofjian Thaib, alumnus Mapala-UI, untuk
mengenang 30 tahun kepergian Soe Hok Gie, dicuplik beberapa tulisan
almarhum. Di tahun 1969, ia mengomentari rezim Orde Baru: "Tahun ini adalah
tahun pertama Pembangunan Lima Tahun. Sampai saat ini, kesan saya adalah
bahwa rakyat Indonesia acuh tak acuh terhadap rencana besar ini. Hampir tak
ada komunikasi yang dimengerti masyarakat umum, dan Pemerintah yang terlalu
pragmatis sekarang pada akhirnya gagal menimbulkan gairah dan sokongan kerja
rakyat.".

Di tahun yang sama, ia pun telah mempersoalkan kontinuitas peran teknokrat
dalam hegemoni militer negara Orde Baru. Sedangkan tentang hukum di tahun
1970, ia menulis: "Mahasiswa hukum akhirnya belajar bahwa ada pula
hukum-hukum yang tak tertulis yang lebih superior daripada yang telah
tertulis. Mereka perlu koneksi dengan orang-orang penting, dengan tentara,
dengan polisi yang dapat menanggulangi hukum. Dan akhirnya, mereka harus
memendam kenyataan yang pahit itu diam-diam."

Ia mengkritik KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang menjadi klik
vested interest. Tentang teman-temannya yang menerima tawaran kursi parlemen
dan bahkan berebut mendapatkan kredit mobil, ia menyebutkannya sebagai
pemimpin yang mencatut perjuangan. "Umurnya rata-rata mendekati 30 tahun dan
telah berkali-kali tak naik kelas karena jarang kuliah. Mereka bukan lagi
mahasiswa yang berpolitik, tetapi politisi yang punya kartu mahasiswa."

Ia memang seorang penggerak kekuatan moral, humanis sejati dan idealis yang
bergairah. Tapi mempertahankan idealisme ternyata bukan pekerjaan ringan,
dan itu dirasakannya sendiri, ketika ia bergulat dalam catatan hariannya:
"Di Indonesia hanya ada dua pilihan. Menjadi idealis atau apatis. Saya sudah
lama memutuskan bahwa saya harus menjadi idealis, sampai batas-batas
sejauh-jauhnya."

Dalam diskusi sehari bertempat di Pusat Studi Jepang (PSJ) UI Depok itu akan
tampil pembicara-pembicara: Dr John Maxwell (yang disertasinya 1977 di
Australian National University mengenai Soe Hok Gie), Aristides Katoppo,
Mohamad Sobary, Dr Ignas Kleden, dr Marsilam Simanjuntak, dr Hariadi
Darmawan. Acara tersebut akan dipandu oleh Dr Syahrir dan Dr Dahana.

Soe Hok Gie lahir di Jakarta 17 Desember 1942 sebagai putra keempat dari
keluarga Soe Lie Piet. Lingkungan keluarga yang tinggal di pemukiman padat
di kawasan Kebun Jeruk/Sawah Besar Jakarta Pusat ini akrab dengan literatur.
Ayahnya, Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan adalah seorang wartawan dan
penulis.

Dari segi ekonomi, mereka memang serba sederhana, tetapi tidak dalam
penjelajahan intelektual. Soe Hok Gie dan kakaknya, Soe Hok Djien (Arief
Budiman), sudah akrab dengan bacaan sastra dan filsafat sejak duduk di
bangku sekolah menengah. Soe Hok Gie menjadi mahasiswa jurusan Sejarah
Fakultas Sastra UI, sedangkan Arief Budiman menjadi mahasiswa Fakultas
Psikologi UI.

Soe Hok Gie menulis skripsi sarjana mudanya mengenai Sarekat Islam Semarang
yang kemudian dibukukan dengan judul Di Bawah Lentera Merah (Bentang Budaya,
1999). Skripsi sarjananya (ia lulus Mei 1969) adalah tentang pemberontakan
PKI Moeso 1948 yang juga dibukukan dengan judul Orang-orang di Persimpangan
Jalan (Bentang Budaya, 1997).

Sementara itu, tulisan Soe Hok Gie yang merupakan refleksi tiga tahun Orde
Baru, yang menceritakan tentang teman-temannya yang menjadi anggota DPR-GR,
dan perilaku mahasiswa, telah dibukukan pula dengan judul Zaman Peralihan
(Bentang Budaya,1995). Catatan hariannya pada tahun 1983 diterbitkan oleh
LP3ES dengan judul Catatan Seorang Demonstran. Setelah meraih
kesarjanaannya, Soe Hok Gie mengabdi pada almamaternya, dengan menjabat
sebagai dosen.

Sebagai mahasiswa, Soe Hok Gie menjadi Ketua Senat Fakultas Sastra dan
menjadi salah satu pendiri Mapala-UI dan Grup Diskusi UI (GD-UI). Ia pun
aktif dalam Gerakan Mahasiswa Sosialis (GMSOS). Di akhir 1965 dan awal 1966,
Hok Gie diketahui secara terbuka mendukung jenderal-jenderal TNI-AD dengan
harapan bahwa mereka akan membawa Indonesia kepada suatu masyarakat yang
adil dan sederajat. Ia malah dikabarkan menjadi salah satu tokoh kunci
terjadinya aliansi Mahasiswa-ABRI pada tahun 1966. Tapi menjelang akhir
1969, semakin jelas baginya bahwa ia telah salah menaruh kepercayaan. Ia
melihat kekuasaan militer menjadi sosok yang fasistis.

Hok Gie juga duduk di LPKB (Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa) yang
didirikan oleh kelompok masyarakat keturunan Cina. Ia agaknya lebih setuju
dengan pendekatan yang dilakukan LPKB ketimbang yang dilakukan oleh Baperki
(Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia, juga kelompok besar
golongan Tionghoa). Bulan Februari 1963, ia ikut sebagai delegasi pemuda
yang setuju dengan asimilasi menemui Presiden Soekarno. Tapi
kritik-kritiknya Hok Gie pada LPKB membuatnya ia dipecat dari lembaga
tersebut.

Patriotisme

Bagi Hok Gie, gunung adalah tempat untuk menguji kepribadian dan keteguhan
hati seseorang. Ia juga mengatakan: "Hanya di puncak gunung aku merasa
bersih." Tapi lebih dari itu, kecintaannya pada alam adalah bagian penting
dari kejiwaan cinta-Tanah Airnya.

Patriotisme, katanya, tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan.
Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal
obyeknya. "Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan
mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat".

Hok Gie memang seorang penjelajah alam dan pendaki gunung yang entusias. Ia
punya kekaguman tersendiri pada temannya, Herman Lantang, yang jago naik
gunung dan sedang menjelajahi hutan Irian Jaya. Hok Gie sendiri bercita-cita
suatu saat bisa mencapai gunung tertinggi di Jawa yakni Semeru.

Pada 15 Desember 1969, Hok Gie bersama kawan-kawannya Herman Lantang, Abdul
Rahman, Idhan Lubis, Aristides Katoppo, Rudy Badil, Freddy Lasut, Anton
Wiyana berangkat menuju Puncak Semeru melalui kawasan Tengger. Hok Gie ingin
bisa merayakan ulang tahunnya yang ke 27 di atap tertinggi Pulau Jawa
tersebut. Tanggal 16 Desember, di tengah angin kencang di ketinggian 3.676
meter (dari atas permukaan laut), Hok Gie, Idhan, Rahman terserang gas
beracun. Hok Gie dan Idhan berada dalam posisi yang tidak menguntungkan dan
nyawa mereka tidak sempat tertolong.

Cita-cita Soe Hok Gie untuk mati di tengah alam betul-betul kesampaian. Dan
tampaknya juga cocok dengan ungkapan dari puisi Yunani yang suka dikutipnya:
"Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati
muda, dan yang tersial adalah umur tua. Bahagialah mereka yang mati muda."

Lokasi musibah itu terpencil dan nyaris tidak bisa diakses. Helikopter dari
pangkalan TNI-AL Surabaya gagal mencapai lokasi karena cuaca buruk dan areal
yang terjal.

Melalui upaya dari darat, jenazah Hok Gie dan Idhan akhirnya bisa dibawa ke
Malang, 23 Desember 1969. Menjelang malam Natal 1969, pesawat Hercules
TNI-AU yang mengangkut Hok Gie dan Idhan mendarat di lapangan terbang
Kemayoran Jakarta. Di antara ratusan penyambut yang telah menanti berjam-jam
terdapat Prof Soemitro Djojohadikusumo, yang ketika itu menjabat sebagai
Menteri Perdagangan.

Soe Hok Gie dimakamkan di Menteng Pulo dan kemudian dipindahkan ke kuburan
zaman Belanda di Tanah Abang. Di nisan marmernya dituliskan kata-kata dari
lagu kesayangannya: "Nobody knows the troubles I see. Nobody knows my
sorrow." Tahun 1975, sisa jasad Hok Gie digali kembali untuk dikremasikan.
Abunya kemudian ditaburkan oleh sahabat-sahabatnya di lembah Mandala-wangi,
dekat Puncak Pangrango, tempat yang acapkali dikunjungi Hok Gie manakala ia
butuh kedamaian dan kesendirian.

Berita kematian Hok Gie menyebar hingga keluar Indonesia. Pada pertengahan
bulan Januari, dalam suatu pertemuan yang diadakan The Asia Society di New
York, Duta Besar RI Soedjatmoko menyatakan: "... Saya ingin menyampaikan
penghormatan mengenang Soe Hok Gie, salah seorang intelektual yang paling
dinamis dan menjanjikan dari generasi muda pasca-kemerdekaan yang baru saja
tewas dalam suatu kecelakaan di Gunung Semeru."

"Komitmennya yang penuh untuk modernisasi dan demokrasi, kejujurannya,
kepercayaan dirinya yang teguh dalam perjuangan-perjuangannya menyebabkan
dia mampu mengatasi pandangan-pandangan tradisional yang menentangnya yang
disebabkan latar belakang keturunan Cinanya itu. Bagi saya, ia memberikan
ilustrasi tentang adanya kemungkinan suatu tipe baru orang Indonesia, yang
benar-benar asli orang Indonesia. Saya pikir pesan inilah yang telah
disampaikannya kepada kita dalam hidupnya yang singkat itu."

Pada bulan April, Benedict Anderson menuliskan ungkapan rasa hormat dan
kagumnya pada sahabatnya semasa masih di Cornell University (Hok Gie pernah
tiga bulan berkelana di AS tahun 1968) dalam artikelnya yang menggugah
perasaan berjudul Indonesia. Esai Ben Anderson kemudian dipublikasikan oleh
harian Kompas, 4 Mei 1970. Ben memuji Hok Gie karena dialah yang pertama
kali melontarkan tentang adanya penahanan besar-besaran di pelosok Jawa dan
Bali tanpa proses peradilan. Ketika itu, simpati yang dia perlihatkan secara
terbuka, termasuk simpatinya kepada keluarga PKI yang mengalami
dehumanisasi, bukanlah tanpa risiko.

Kawan lama Hok Gie, yakni Jopie Lasut yang ketika itu wartawan Sinar
Harapan, menuliskan kenangan tentang Almarhum dalam rangkaian tulisan
memperingati lima tahun kebangkitan mahasiswa. Tentang Soe Hok Gie terdapat
pada bagian kedua serial di Sinar Harapan tersebut (7 Januari 1970) yang
mengisahkan tentang Soe Hok Gie yang memimpin demonstrasi mahasiswa ke
Kantor Pusat Pertamina memprotes kenaikan harga BBM.



Suara Pembaruan

[+/-] Selengkapnya...


Antara Soe Hok Gie dan Puncak Mahameru

Apa hubungan antara Soe Hok Gie dan Puncak Mahameru?
Dan apa yang berkaitan antara keduanya?
Soe Hok Gie dan Mahameru adalah dua legenda Indonesia, sedangkan hubungan antara keduanya?
Soe Hok Gie wafat di Mahameru saat melakukan pendakian pada 18 Desember 1969 karena menghirup asap beracun gunung tersebut.


Soe Hok Gie dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1942. Dia adalah sosok aktifis yang sangat aktif pada masanya. Sebuah karya catatan hariannya yang berjudul Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran setebal 494 halaman oleh LP3ES diterbitkan pada tahun 1983. Soe Hok Gie tercatat sebagai mahasiswa Universitas Indonesia dan juga merupakan salah satu pendiri Mapala UI yang salah satu kegiatan terpenting dalam organisasi pecinta alam tersebut adalah mendaki gunung. Gie juga tercatat menjadi pemimpin Mapala UI untuk misi pendakian Gunung Slamet, 3.442m.

Kemudian pada 16 Desember 1969, Gie bersama Mapala UI berencana melakukan misi pendakian ke Gunung Mahameru (Semeru) yang mempunyai ketinggian 3.676m. Banyak sekali rekan-rekannya yang menanyakan kenapa ingin melakukan misi tersebut. Gie pun menjelaskan kepada rekan-rekannya tesebut :

"Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung."

Sebelum berangkat, Gie sepertinya mempunyai firasat tentang dirinya dan karena itu dia menuliskan catatannya :

"Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat."

Dari beberapa catatan kecil serta dokumentasi yang ada, termasuk buku harian Gie yang sudah diterbitkan, Catatan Seorang Demonstran (CSD) (LP3ES, 1983), berikut beberapa kisah yang mewarnai tragedi tersebut yang saya kutip dari Intisari :

Suasana sore hari bergerimis hujan dan kabut tebal, tanggal 16 Desember 1969 di G. Semeru. Seusai berdoa dan menyaksikan letupan Kawah Jonggringseloko di Puncak Mahameru (puncaknya G. Semeru) serta semburan uap hitam yang mengembus membentuk tiang awan, beberapa anggota tim terseok-seok gontai menuruni dataran terbuka penuh pasir bebatuan, mereka menutup hidung, mencegah bau belerang yang makin menusuk hidung dan paru-paru. Di depan kelihatan Gie sedang termenung dengan gaya khasnya, duduk dengan lutut kaki terlipat ke dada dan tangan menopang dagu, di tubir kecil sungai kering. Tides dan Wiwiek turun duluan.

Dengan tertawa kecil, Gie menitipkan batu dan daun cemara. Katanya, "Simpan dan berikan kepada kepada 'kawan-kawan' batu berasal dari tanah tertinggi di Jawa. Juga hadiahkan daun cemara dari puncak gunung tertinggi di Jawa ini pada cewek-cewek FSUI." Begitu kira-kira kata-kata terakhirnya, sebelum turun ke perkemahan darurat dekat batas hutan pinus atau situs recopodo (arca purbakala kecil sekitar 400-an meter di bawah Puncak Mahameru).

Di perkemahan darurat yang cuma beratapkan dua lembar ponco (jas hujan tentara), bersama Tides, Wiwiek dan Maman, mereka menunggu datangnya Herman, Freddy, Gie, dan Idhan. Hari makin sore, hujan mulai tipis dan lamat-lamat kelihatan beberapa puncak gunung lainnya. Namun secara berkala, letupan di Jonggringseloko tetap terdengar jelas.

Menjelang senja, tiba-tiba batu kecil berguguran. Freddy muncul sambil memerosotkan tubuhnya yang jangkung. "Gie dan Idhan kecelakaan!" katanya. Tak jelas apakah waktu itu Freddy bilang soal terkena uap racun, atau patah tulang. Mulai panik, mereka berjalan tertatih-tatih ke arah puncak sambil meneriakkan nama Herman, Gie, dan Idhan berkali-kali.

Beberapa saat kemudian, Herman datang sambil mengempaskan diri ke tenda darurat. Dia melapor kepada Tides, kalau Gie dan Idhan sudah meninggal! Kami semua bingung, tak tahu harus berbuat apa, kecuali berharap semoga laporan Herman itu ngaco. Tides sebagai anggota tertua, segera mengatur rencana penyelamatan.

Menjelang maghrib, Tides bersama Wiwiek segera turun gunung, menuju perkemahan pusat di tepian (danau) Ranu Pane, setelah membekali diri dengan dua bungkus mi kering, dua kerat coklat, sepotong kue kacang hijau, dan satu wadah air minum. Tides meminta beberapa rekannya untuk menjaga kesehatan Maman yang masih shock, karena tergelincir dan jatuh berguling ke jurang kecil.

"Cek lagi keadaan Gie dan Idhan yang sebenarnya," begitu ucap Tides sambil pamit di sore hari yang mulai gelap. Selanjutnya, mereka berempat tidur sekenanya, sambil menahan rembesan udara berhawa dingin, serta tamparan angin yang nyaris membekukan sendi tulang.

Baru keesokan paginya, 17 Desember 1969, mereka yakin kalau Gie dan Idhan sungguh sudah tiada, di tanah tertinggi di Pulau Jawa. Mereka jumpai jasad keduanya sudah kaku. Semalam suntuk mereka lelap berkasur pasir dan batu kecil G. Semeru. Badannya yang dingin, sudah semalaman rebah berselimut kabut malam dan halimun pagi. Mata Gie dan Idhan terkatup kencang serapat katupan bibir birunya. Mereka semua diam dan sedih.

Soe Hok Gie telah menjadi salah satu Dewa yang memuncaki Mahameru, Puncak Abadi Para Dewa.

fendra.blogsome.com

[+/-] Selengkapnya...

Soe Hok Gie


Soe Hok Gie






(17 Desember 194216 Desember 1969) adalah salah seorang aktivis Indonesia dan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah tahun 19621969.

Soe Hok Gie menamatkan pendidikan SMA di Kolese Kanisius. Nama Soe Hok Gie adalah dialek Hokkian dari namanya Su Fu-yi dalam bahasa Mandarin (Hanzi: 蘇福義). Leluhur Soe Hok Gie sendiri adalah berasal dari Provinsi Hainan, Republik Rakyat Cina.

Ia adalah seorang anak muda yang berpendirian yang teguh dalam memegang prinsipnya dan rajin mendokumentasikan perjalanan hidupnya dalam buku harian. Buku hariannya kemudian diterbitkan dengan judul Catatan Seorang Demonstran (1983).

Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan. Dia adik kandung Arief Budiman atau Soe Hok Djin, dosen Universitas Kristen Satya Wacana yang juga dikenal vokal dan sekarang berdomisili di Australia.

Hok Gie dikenal sebagai penulis produktif di beberapa media massa, misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Sekitar 35 karya artikelnya (kira-kira sepertiga dari seluruh karyanya) selama rentang waktu tiga tahun Orde Baru, sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan (Bentang, 1995).

Catatan Seorang Demonstran

Juga skripsi sarjana mudanya perihal Sarekat Islam Semarang, tahun 1999 diterbitkan Yayasan Bentang dengan judul Di Bawah Lentera Merah. Sebelumnya, skripsi S1-nya yang mengulas soal pemberontakan PKI di Madiun, juga sudah dibukukan dengan judul Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (Bentang, 1997).

Sebagai bagian dari aktivitas gerakan, Soe Hok Gie juga sempat terlibat sebagai staf redaksi Mahasiswa Indonesia, sebuah koran mingguan yang diterbitkan oleh mahasiswa angkatan 66 di Bandung untuk mengkritik pemerintahan Orde Lama.

Hok Gie meninggal di gunung Semeru tahun 1969 tepat tiga hari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis.

John Maxwell menulis biografi Soe Hok Gie dengan judul Soe Hok Gie - A Biography of A Young Indonesian Intellectual (Australian National University, 1997).

[+/-] Selengkapnya...